Menyeramkan, rasa itu.
Sosoknya menggigil di balik kaus putih sederhana yang dikenakannya, kaki telanjangnya meneruskan langkahnya yang semula, menyusuri jalan setapak samar di dalam hutan. Ia kedinginan, terluka, dan—meski hanya akan ia akui dalam hati—ketakutan. Rasa itu—baginya—kini jauh lebih mendominasi dibanding rasa sakit akibat berjalan tanpa alas kaki. Ia seperti tak bisa merasa. Ia tahu kakinya menginjak ranting-ranting tajam pepohonan di sekitarnya. Ia tahu tangannya terus-menerus tergores duri tajam pada dahan pohon-pohon yang dilewatinya. Ia tahu, ia sadar—tapi ia tak merasa.
Langkah demi langkah dijejakinya, hingga ia temui akhir dari jejak jalan setapak tersebut. Di depannya kosong, tanah serta pepohonannya terlihat rapi, tanpa jejak maupun tanda-tanda bahwa ada orang yang pernah melewatinya. Jauh berbeda dengan sisi kanan maupun kirinya, yang penuh dengan jejak-jejak lain yang mungkin akan membawanya keluar dari hutan tersebut.
Ia harus memilih.
Sekilas, bayangan sosok gadis kecil muncul di sampingnya. Tersenyum hangat, lalu memeluknya erat, tak kasatmata. Tak lama, di sisi lainnya muncul sosok bayangan lain, bayangannya lebih terang, seperti pantulan cahaya matahari yang hangat. Sosok itu—gadis itu, tersenyum ceria, bergabung dengan gadis kecil di sebelahnya. Hanya saja, sosoknya hanya menggenggam tangannya erat. Seakan memberinya keberanian untuk maju ke depan. Ia mengangguk, membalas dengan senyum lembut yang hangat sambil melepaskan diri dari dua gadis di sebelahnya. Ia mulai menjejak ke depan, kali ini dengan mantap.
Ia tahu apa yang menantinya. Ia tahu apa konsekuensinya.
Tapi pernahkah ia peduli? Pernahkah ia menyesali?
Tidak.
Komentar
Posting Komentar