isi pikiran

Otakku selalu penuh dengan hal-hal abstrak intangible yang beneran intangible sampai aku yang merasakan sendiri saja tidak mengerti bagaimana menjelaskannya.

Selalu ada sisi yang menginginkan aku untuk aktif, berusaha, mencoba, bangkit, dan membuat. Entah apa itu, yang penting membuat. Yang penting aku meninggalkan jejak dan aku sudah mencoba.

Tapi ada sisi lain yang sifatnya represif--ketakutanku semua diamplifikasi olehnya. Tidak usah, nanti kamu tidak akan bisa menyelesaikannya. Tidak usah, kalau mereka baca paling kamu cuma akan dikritik saja. Tidak usah, nanti kamu jadi malu sendiri karenanya. Tidak usah.

Tapi otak ini terus berputar. Terus memproses dan memproses. Kalaupun aku menemukan hasil, semua tidak keluar dalam bentuk tulisan atau ucapan. Tidak ada gunanya, kemudian. Karena hasil yang aku dapat, bila tidak dikeluarkan, akan bernasib sama seperti informasi-informasi yang membentuk hasilnya. Berputar lagi. Diproses lagi. Hilang lagi. Terus saja seperti itu sampai aku sadar sendiri.

(Sebenarnya aku harus menerjemahkan sebagai tugas. Tapi setelah kuliah hari ini, mengapa hal itu jadi terasa sia-sia?

Untuk apa menerima dan menyalurkan tanpa memproses dan mencipta?)

Menghapus history youtube ternyata hal yang bagus. Aku mendapat sugesti-sugesti baru dari topik yang tidak pernah kusentuh sebelumnya. Belajar aktif. Literary review. Analisis kritis. Academic writing. Journal writing. Bidang ilmu sosial ini sebelumnya hanya kusentuh sedikiit saja. Sekarang semua terasa overwhelming. Arus-arus informasinya terlalu banyak, tapi juga menyenangkan. Mungkin aku terlalu terbiasa diberi takaran, lalu sekarang saat kebebasan itu dibuka, pintunya setengah terbuka buatku mengintip dan mengambil, aku kewalahan.

(Bagaimana nanti kalau pintunya sudah dibuka sepenuhnya?)

Kekhawatiranku banyak yang tidak berdasar. Hanya karena asumsi yang dibentuk pribadi. Ketakutan irasional. Aku tahu tapi aku kenapa begini-begini saja, tidak ada ingin berubah, juga satu pertanyaan yang terus berputar dan menjadi bahan bakar ketakutanku.




(Lalu di tengah semua ini, aku rindu.

Bukan kamu yang pasti merasa. Tapi kamu yang selalu ada, meski bukan dalam bentuk raga.)

Komentar